Dalam
batinnya, sandal berkata, sungguh enak menjadi peci. Ia selalu ditempatkan di
atas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada di bawah. Lain halnya dengan
dirinya, dipakai terinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokan, di tanah
atau di lantai dingin. Setiap hendak digunakan, tuan pemilik selalu
membersihkan peci, tak satu pun debu dibiarkan hinggap, dan sepulang diajak
pergi, kembail dibersihkan dan diletakkan di tempat yang lebih terhormat: jika
tidak di atas lemari, di dalam lemari, di atas buffet, paling rendah tergantung
di dinding.
Berbeda
dengan sendal jepit. Dipakai tak pernah dibersihkan, sepulangnya semakin tak
dipedulikan sekotor apa pun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan bau yang
tak sedap. Kalaupun diajak pergi, sandal tak pernah ke tempat yang bersih, ke
pasar, ke kebun, lapangan, atau ke toilet. Jelas saja, tuan pemilik akan lebih
memilih sepatu atau sandal kulit untuk ke Mall, ke pesta, atau ke tempat-tempat
yang memang bukan tempatnya sandal jepit berada disana. Tapi, sandal juga
dipakai jika tuan pemilik hendak ke masjid. Entah ini penghormatan atau
sebaliknya buat sandal jepit karena jika nanti di masjid ia harus berpindah
kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, “Untung cuma
sandal jepit.”
Sedangkan
peci, selalu dipakai kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat-pejabat
penting negara ini wajib menggunakan peci saat pelantikan dan acara-acara
resmi, acara kehormatan kenegaraan.
Peci
hampir tak pernah dipinjamkan kepada tuan yang lain, karena biasanya
masing-masing sudah memiliki. Tapi sandal, sekalipun ada, beberapa, tak pernah
diberikan kehormatan untuk mengabdi pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai
tuan istri, tuan anak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjamkan juga ke
tetangga, atau teman tuan anak. Kalaupun usang dan berubah warna, peci biasanya
tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapi, atau paling
mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa saja yang membutuhkannya.
Intinya, masih bernilai paskaguna. Sandal jepit? Jelek sedikit diganti, apalagi
kalau sudah putus talinya, tidak ada tempat yang paling pas kecuali tong
sampah. Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus
dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat roda mobil-mobilan
mainan anak-anak.
Tapi
sandal tetap menyadari status dan perannya sebagai sandal yang akan selalu
terinjak-injak, kotor, dan tak pernah di atas. Sandal tak pernah iri dengan
peran peci. Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Tuhannya, dan ditanya,
“Mana dari dua barang milikmu yang paling sering kau gunakan, paling
bermanfaat, sandal jepit atau peci, yang akan kau bawa bersamamu ke surga?”
Dengan mantap tuan pemilik menyebut sandal jepit jauh lebih memberikan manfaat
baginya.
***
Tak
penting apa status, peran dan fungsi kita di dunia ini, karena Allah, Rasul,
dan manusia beriman tak melihat pakaian yang kita kenakan, jabatan yang
tersemat, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya kita bagi
orang lain dengan status dan peran tersebut. Jika demikian, bukan hal penting
untuk mempertanyakan status dan jabatan apa yang akan kita sandang saat ini dan
nanti. Tetapi yang terpenting untuk ditanyakan, seberapa bisa kita berbuat baik
dan bermanfaat bagi banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar