Minggu, 08 Januari 2012

Sandal Jepit dan Peci

Suatu malam, saat semua penghuni rumah sudah terlelap, Sandal Jepit yang berada di luar rumah menggigil kedinginan. Tak pernah sekalipun ia diajak masuk oleh si empunya. Dengan tubuh kotor penuh debu, kadang lumpur, ia selalu dibiarkan tergeletak di depan. Rupanya, keluhan itu sempat di dengar oleh Peci yang tergantung di paku di dinding ruang tamu. Melihat rekannya yang berada di luar, Peci hanya tersenyum penuh kemenangan dan pura-pura tertidur tak memedulikan Sandal Jepit yang mulai menangis.

Dalam batinnya, sandal berkata, sungguh enak menjadi peci. Ia selalu ditempatkan di atas, dipakai atau tidak, tak pernah ia berada di bawah. Lain halnya dengan dirinya, dipakai terinjak-injak, tak dipakai tetap tersingkir di pojokan, di tanah atau di lantai dingin. Setiap hendak digunakan, tuan pemilik selalu membersihkan peci, tak satu pun debu dibiarkan hinggap, dan sepulang diajak pergi, kembail dibersihkan dan diletakkan di tempat yang lebih terhormat: jika tidak di atas lemari, di dalam lemari, di atas buffet, paling rendah tergantung di dinding.

Berbeda dengan sendal jepit. Dipakai tak pernah dibersihkan, sepulangnya semakin tak dipedulikan sekotor apa pun, mulai dari debu, sampai kotoran dengan bau yang tak sedap. Kalaupun diajak pergi, sandal tak pernah ke tempat yang bersih, ke pasar, ke kebun, lapangan, atau ke toilet. Jelas saja, tuan pemilik akan lebih memilih sepatu atau sandal kulit untuk ke Mall, ke pesta, atau ke tempat-tempat yang memang bukan tempatnya sandal jepit berada disana. Tapi, sandal juga dipakai jika tuan pemilik hendak ke masjid. Entah ini penghormatan atau sebaliknya buat sandal jepit karena jika nanti di masjid ia harus berpindah kaki dengan orang lain alias hilang, toh tuan pemilik hanya berpikir, “Untung cuma sandal jepit.”

Sedangkan peci, selalu dipakai kondangan, bahkan para pemimpin negeri, pejabat-pejabat penting negara ini wajib menggunakan peci saat pelantikan dan acara-acara resmi, acara kehormatan kenegaraan.

Peci hampir tak pernah dipinjamkan kepada tuan yang lain, karena biasanya masing-masing sudah memiliki. Tapi sandal, sekalipun ada, beberapa, tak pernah diberikan kehormatan untuk mengabdi pada satu tuannya saja. Ia bisa dipakai tuan istri, tuan anak, atau juga pembantu. Tidak jarang, ia dipinjamkan juga ke tetangga, atau teman tuan anak. Kalaupun usang dan berubah warna, peci biasanya tak pernah dibuang. Disimpan dalam kardus di gudang dengan rapi, atau paling mungkin diberikan kepada anak-anak yatim atau siapa saja yang membutuhkannya. Intinya, masih bernilai paskaguna. Sandal jepit? Jelek sedikit diganti, apalagi kalau sudah putus talinya, tidak ada tempat yang paling pas kecuali tong sampah. Terkadang, ia juga harus merasakan kepedihan jika tubuhnya harus dipotong-potong untuk pengganti rem blong, atau dibuat roda mobil-mobilan mainan anak-anak.

Tapi sandal tetap menyadari status dan perannya sebagai sandal yang akan selalu terinjak-injak, kotor, dan tak pernah di atas. Sandal tak pernah iri dengan peran peci. Terlebih saat tuan pemilik berhadapan dengan Tuhannya, dan ditanya, “Mana dari dua barang milikmu yang paling sering kau gunakan, paling bermanfaat, sandal jepit atau peci, yang akan kau bawa bersamamu ke surga?” Dengan mantap tuan pemilik menyebut sandal jepit jauh lebih memberikan manfaat baginya.

 ***
Tak penting apa status, peran dan fungsi kita di dunia ini, karena Allah, Rasul, dan manusia beriman tak melihat pakaian yang kita kenakan, jabatan yang tersemat, dan kehormatan yang disandang, tapi seberapa bermanfaatnya kita bagi orang lain dengan status dan peran tersebut. Jika demikian, bukan hal penting untuk mempertanyakan status dan jabatan apa yang akan kita sandang saat ini dan nanti. Tetapi yang terpenting untuk ditanyakan, seberapa bisa kita berbuat baik dan bermanfaat bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar