Minggu, 09 Juni 2013

puisi untuk ayah

AYAH
Oleh Ratih Anjelia Ningrum

Disetiap tetes keringatmu
Di derai lelah nafas mu
Si penuhi kasih sayang yang luar biasa
Demi aku kau rela si sengat matahari
Hujan pun tak dapat membatasi mu
untuk aku anakmu...
Si setiap doamu kau haturkan segenap harapan

Ayah...
kan ku jaga setiap nasehatmu
Di setiapnafas ku
Di relung hati akan ku hangatkan nmamu
Akan ku kobarkan semua impianmu
Hanya untuk menikmati senyumu
Di ufuk senjamu
Ayah

Cara Menghilangkan Bekas Jerawat dan Noda Hitam Secara Alami



Cara menghilangkan bekas jerawat dan noda hitam secara alami dan tradisional. Jerawat memang senantiasa membuat pusing dan kurangnya rasa percaya diri. Setelah bersusah paya anda menghilangkan jerawat, selanjutnya anda masih akan dipusingkan dengan bekas jerawat yang juga sulit dihilangkan. Sebelum berlanjut membahas tips menghilangkan jerawat, ada baiknya mengetahui agar jerawat tidak meninggalkan bekas seperti yang dikutip dari laman Boldsky berikut.

Agar Jerawat Tidak Berbekas

Jangan Memecahkan Jerawat

Cara yang direkomendasikan agar jerawat tidak meninggalkan bekas adalah dengan tidak memecahkan jerawat. Jika dipecahkan maka jerawat akan meninggalkan bekas pada kulit, hal ini disebabkan karena lapisan kulit rusak saat jerawat dipecahkan. Bukan hanya itu, getah dari pecahan jerawat umumnya mengandung bakteri mengakibatkan bagian lain yang terkena getah tersebut menjadikan jerawat lain muncul.

Hindari sinar mata hari secara langsung

Saat anda berjerawat ada baiknya menghindari sinar terik matahari secara langsung. Ultraviolet berlebih akan berdampak langsung pada kulit wajah yang baru sembuh dari jerawat. Hal ini dikarenakan jaringan kulit yang terbentuk masih tipis dan rawan terkena ultraviolet.

Rajin membersihkan wajah dengan air bersih

Air dipercaya sangat membantu menjaga kelembaban kulit untuk proses regenerasi. Untuk mencegah timbul bekas jerawat, ada baiknya bersihkan wajah minimal dua kali sehari. Namun jangan mencuci wajah ketika anda baru selesai bepergian, karena ketika kulit wajah masih dalam kondisi panas setelah terkena hawa siang hari kemudian langsung di cuci dengan air maka akan berdampak buruk, ibarat gelas terkena air panas kemudian dikasih air dingain. Diamkan sejenak hingga kondisi kulit wajah menyesuaikan, kemudian bersihkan wajah dengan air yang bersih dan sejuk.

Menghilangkan Bekas Jerawat

1. Menggunakan Tomat

Umumnya tomat dikenal sebagai bahan dapur, namun jangan salah, tomat juga bisa membantu menghilangkan bekas jerawat. Tomat kaya akan vitamin A yaitu vitamin sangat bermanfaat untuk merangsang Kolagen. Kolagen sendiri adalah zat tubuh yang berperan penting dalam pembentukan kulit. Iris tomat tipis-tipis dan tempelkan pada wajah selama 10-15 menit.

2. Menggunakan Pepaya

Cara menghilangkan bekas jerawat yang satu ini cukup mudah dilakukan, yaitu memanfaatkan buah Pepaya. Pepaya banyak digunakan sebagai bahan kecantikan. Pepaya mengandung papain, yaitu enzim yang dapat mengurangi peradangan. Penggunaanya bisa langsung dikonsumsi maupun digunakan sebagai masker. Penggunaan pepaya untuk menghilangkan bekas jerawat yaitu digunakan sebagai masker. Masker pepaya ini bisa membuka pori-pori yang tersumbat, menghilangkan minyak, dan sel-sel kulit yang sudah mati. caranya cukup mudah, oleskan pepaya yang sudah dihaluskan ke wajah sampai mengering, biarkan selama15-20 menit, kemudian bilas dengan air hingga bersih.

3.  Putih Telur dan Madu

Putih telur baik untuk perkembangan otot tubuh, namun putih telur juga bisa menghilangkan bekas jerawat. Begitu pula dengan madu, cairan ajaib ini senantiasa digunakan untuk berbagai pengobatan. Agar mendapat hasil yang maksimal maka gabungkan kedua bahan tersebut. Caranya, campur putih telur tersebt dengan madu, kemudian oleskan pada bekas jerawat secara rutin dan teratur.

Kunci keberhasilan dalam menghilangkan bekas jerawat ini terletak pada individu masing-masing. Dengan melakukan cara-cara diatas secara rutin dan teratur maka hasil yang didapat akan memuaskan. Namun jika dilakukan dengan setengah hati, maka hasilnya pun kurang memuaskan, bahkan tak tampak perubahanya.


Nikah Dini Sebagai Suatu Degenerasi


Nikah Dini Sebagai Suatu Degenerasi
SISI LAIN dari kemajuan zaman dan teknologi informasi yang menjulang langit, justru membawa konsekuensi tersendiri. Seiring dengan itu, pengetahuan kita tentang hal-hal yang tak masuk akal pun kian muncul ke permukaan. Diantaranya, fenomena perkawinan di bawah umur (pernikahan dini), ternyata masih marak terjadi.

Sebaliknya, boleh jadi salah satu pemicu terjadinya nikah di bawah umur justru akibat dari kemajuan zaman dan teknologi media informasi. Apapun pemantiknya,  nikah di bawah umur adalah fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan masih dalam kategori usia anak-anak.

Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Jumlah tertinggi angka perkawinan pertama penduduk wanita usia yang sama adalah yang terjadi di Kabupaten Malang yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049. Sementara prosentase tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen dari total pernikahan 394 orang.

Lebih lanjut, data tersebut mengungkap sampai dengan pada Juni 2011 laporan usia kawin pertama penduduk wanita seluruh JawaTimur usia di bawah 20 tahun mencapai 34.016 orang atau sebesar 19,97 persen dari jumlah laporan seluruh usia kawin pertama penduduk wanita di Jawa Timur sebesar 171.862 orang.
Sebetulnya secara implisit UU Perkawinan 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak. Sementara perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1). Anehnya UU tersebut mensahkan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7 ayat 2).
Dengan kata lain perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun terjadi pada usia anak-anak di bawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak). Dalam arti, negara mengizinkan perkawinan yang melanggar hak asasi anak (UU No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 s/d pasal 66).
 
Perkawinan pada anak-anak adalah melembagakan tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh haknya. Tepatnya hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 ayat 2 UU No 23 Tahun 2002).
 
Sekaligus melestarikan pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Juga merenggut hak mendapat perlindungan.
 
Anak-anak sebagai korban sekaligus pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan bawah umur yang bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.

Orang tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut. Atau atas nama pelestarian dinasti kekayaan tertentu. Bahkan secara ekstrem bukan tidak mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah modus terselubung penjualan anak-anak mereka.
Ketiadaan kesadaran hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali keadaan ini disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini bila tak segera dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan norma agama dan perzinahan merajalela.

 http://www.wydii.org/index.php?option=com_content&view=article&id=117&Itemid=76


Selain tentu saja, di pelbagai daerah telah mentradisi bentuk perjodohan oleh orangtuanya. Biasanya mereka berpegang mitos umum bila anak telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun, maka sudah waktunya untuk menikah. Diantara beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah keyakinan yang dianut dari pelbagai tafsir hadist nabi oleh tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani sunah rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi.

Efek Domino
Lebih dari itu, tampaknya data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur pada tahun 2010 cukup mencengangkan. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur terungkap angka pernikahan pertama penduduk perempuan bawah umur 17 tahun memperlihatkan di atas 50 persen dari total pernikahan di daerahnya. Seperti Kabupaten Jember mencapai 56 persen, Bondowoso 73, 9 persen, Probolinggo 71,5 persen, Lamongan 52, 5 persen, Sampang 63,8 persen, Pamekasan 59,2 persen, dan Kabupaten Sumenep 60 persen.

Sementara secara nasional data BPS memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikan saat usia mereka di bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; 33,4 persen menikah usia 16-18 tahun. Pernikahan perempuan pada usia 10-15 tahun tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan dengan jumlah 18,89 persen dari jumlah perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang rata-rata berjumlah 10 persen dari populasi perempuan yang pernah menikah.

Dampak terburuk yang penting dicermati bagi pernikahan bawah umur, adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
Bangun rumah tangga di atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda Tanya besar, bagaimana seorang di usia yangseharusnya masih mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi yang sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperoleh pendidikan untuk menjadi tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, kemudian diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?
Terlebih negara telah (melalui UU Perkawinan dan masyarakat dengan stigmanya) nyata-nyata memberikan tanggungjawab kepada pasangan yang tidak siap itu, untuk mengurusi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Pendeknya sudah tak ada ampun bagi negara.

Tidak hanya berhenti di situ, gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada masalah psikologi sosial pelaku/korban pernikahan di bawah umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat menjadi terkendala. Secara ekstrem masalah keterasingan di kalangan pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang lebih komplek.

Keterasingan akibat masalah psikologi social pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja kualitas daya intelektualnya. Yang disebut terakhir ini, memperlihatkan terpotongnya aspek perkembangan budaya pasangan menikah di bawah umur, selain disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang terenggut. Sampai pada aspek ini, pasangan nikah di bawah umur bisa dikatakan tidak berkualitas secara budaya.
Terlebih manakala pasangan tersebut berikutnya menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka kemiskinan terus melonjak. Data BPS menyebutkan jumlah pengangguran meningkat dengan didominasi oleh kaum wanita dibandingkan pria. Stereotype perempuan sebagai konco wingking, dan marginalisasi yang legal dari UU Perkawinan dalam situasi kesulitan ekonomi memperbesar kemungkinan terjadinya kriminalisasi dalam rumah tangga.

Pelbagai kemungkinan bentuk KDRT berpeluang terjadi di dalamnya dan tentu saja lebih banyak menempatkan perempuan sebagai korban. Berlanjut pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktek prostitusi terselubung maupun terbuka.

Kemudian dari aspek kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan, dalam hal ini yang berhubungan dengan kehamilan dan kesiapan organ tubuh perempuan untuk melahirkan seorang bayi telah meningkatkan resiko kematian ibu dan anak. Pada aspek ini seringkali disertai dengan pelbagi kemungkinan praktek kriminalitas berupa kasus aborsi yang merajalela.

Terakhir yang tak kalah penting untuk dicermati adalah dampak dari perkawinan di bawah umur atas rendahnya kualitas keluarga, ketidaksiapan psikis, sosial, ekonomi dan juga budaya, adalah menyangkut kelangsungan kualitas hidup anak-anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut. Anak-anak yang lahir dari keluarga yang berkualitas rendah, tentu masa depannya sesuram nasib negara yang didiaminya.