Nikah
Dini Sebagai Suatu Degenerasi
SISI LAIN dari kemajuan zaman dan
teknologi informasi yang menjulang langit, justru membawa konsekuensi
tersendiri. Seiring dengan itu, pengetahuan kita tentang hal-hal yang tak masuk
akal pun kian muncul ke permukaan. Diantaranya, fenomena perkawinan di bawah
umur (pernikahan dini), ternyata masih marak terjadi.
Sebaliknya, boleh jadi salah satu
pemicu terjadinya nikah di bawah umur justru akibat dari kemajuan zaman dan
teknologi media informasi. Apapun pemantiknya, nikah di bawah umur adalah
fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban,
sesuai peraturan perundangan masih dalam kategori usia anak-anak.
Laporan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Juni 2011 saja untuk usia kawin
pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai
6.847 orang
atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama
penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443
orang. Jumlah tertinggi angka perkawinan pertama penduduk wanita usia yang sama adalah yang terjadi di Kabupaten Malang
yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049.
Sementara prosentase tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia
tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen
dari total pernikahan 394 orang.
Lebih lanjut, data tersebut
mengungkap sampai dengan pada Juni 2011
laporan usia kawin pertama penduduk wanita seluruh JawaTimur usia
di bawah 20 tahun mencapai 34.016 orang atau
sebesar 19,97 persen dari jumlah
laporan seluruh usia kawin
pertama penduduk wanita di Jawa Timur sebesar 171.862 orang.
Sebetulnya secara implisit UU
Perkawinan 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak. Sementara perkawinan di bawah
umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1). Anehnya
UU tersebut mensahkan apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain
yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7 ayat
2).
Dengan kata lain perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun terjadi pada usia anak-anak di bawah 18 tahun (pasal
1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak). Dalam arti, negara mengizinkan perkawinan yang
melanggar hak
asasi anak (UU No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 s/d pasal
66).
Perkawinan pada anak-anak adalah
melembagakan tindakan
merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh haknya. Tepatnya hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 ayat 2 UU No 23 Tahun
2002).
Sekaligus melestarikan pelanggaran
hak untuk mendapatkan
pendidikan, berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman
sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Juga
merenggut hak mendapat
perlindungan.
Anak-anak sebagai korban sekaligus
pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan bawah umur yang
bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama, tokoh masyarakat
adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.
Orang tua bisa berdalih meringankan beban
tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut. Atau atas
nama pelestarian dinasti kekayaan tertentu. Bahkan secara ekstrem bukan tidak
mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah modus terselubung penjualan
anak-anak mereka.
Ketiadaan kesadaran hukum yang
kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu solusi.
Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan
perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali keadaan ini
disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini bila tak segera
dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan norma agama dan
perzinahan merajalela.
http://www.wydii.org/index.php?option=com_content&view=article&id=117&Itemid=76
Selain tentu saja, di pelbagai
daerah telah mentradisi bentuk perjodohan oleh orangtuanya. Biasanya mereka
berpegang mitos umum bila anak telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun, maka sudah waktunya untuk menikah. Diantara
beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah keyakinan yang dianut
dari pelbagai tafsir hadist nabi oleh tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani
sunah rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi.
Efek Domino
Lebih dari itu, tampaknya data yang
dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur pada tahun 2010 cukup
mencengangkan. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur terungkap angka pernikahan pertama
penduduk perempuan bawah umur 17 tahun memperlihatkan di atas 50 persen dari
total pernikahan di daerahnya. Seperti Kabupaten Jember mencapai 56 persen,
Bondowoso 73, 9 persen, Probolinggo 71,5 persen, Lamongan 52, 5 persen, Sampang
63,8 persen, Pamekasan 59,2 persen, dan Kabupaten Sumenep 60 persen.
Sementara secara nasional data BPS
memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikan saat usia mereka di
bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; 33,4
persen menikah usia 16-18 tahun. Pernikahan perempuan pada usia 10-15 tahun
tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan dengan jumlah 18,89 persen dari jumlah
perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Timur yang rata-rata berjumlah 10 persen dari populasi perempuan yang pernah
menikah.
Dampak terburuk yang penting dicermati bagi
pernikahan bawah umur, adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Masalah psikologis
berupa kesehatan mental pelaku yang sekaligus cenderung sebagai korban
berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka,
yang diamanatkan UU Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai
kewajiban dan tanggung jawab yang besar
pula.
Bangun rumah tangga di atas pondasi
kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda Tanya besar, bagaimana seorang di usia yangseharusnya masih mendapat bimbingan
dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi yang sesuai tingkat kecerdasannya,
dan memperoleh pendidikan
untuk menjadi tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan,
kemudian diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?
Terlebih negara telah (melalui UU
Perkawinan dan masyarakat dengan stigmanya) nyata-nyata memberikan tanggungjawab
kepada pasangan yang tidak siap itu, untuk mengurusi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Pendeknya sudah tak ada ampun bagi negara.
Tidak hanya berhenti di situ,
gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada masalah psikologi
sosial pelaku/korban pernikahan di bawah
umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat menjadi terkendala. Secara ekstrem masalah keterasingan di
kalangan pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka pada saat
berinteraksi dengan
masyarakatnya yang lebih komplek.
Keterasingan akibat masalah
psikologi social pasangan nikah di bawah umur ini berdampak pada kemampuan
adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan tentu saja
kualitas daya intelektualnya. Yang disebut terakhir ini, memperlihatkan
terpotongnya aspek perkembangan budaya pasangan menikah di bawah umur, selain
disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang terenggut. Sampai pada aspek
ini, pasangan nikah di bawah umur bisa dikatakan tidak berkualitas secara
budaya.
Terlebih manakala pasangan tersebut
berikutnya menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka kemiskinan terus melonjak.
Data BPS menyebutkan jumlah pengangguran meningkat
dengan didominasi oleh kaum wanita dibandingkan
pria. Stereotype perempuan sebagai konco wingking,
dan marginalisasi yang legal dari UU Perkawinan dalam situasi kesulitan ekonomi
memperbesar kemungkinan terjadinya kriminalisasi dalam rumah tangga.
Pelbagai kemungkinan bentuk KDRT berpeluang terjadi di dalamnya dan tentu saja lebih banyak
menempatkan perempuan sebagai korban. Berlanjut pada tingginya angka perceraian
di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktek prostitusi
terselubung maupun terbuka.
Kemudian dari aspek kesehatan,
ketidaksiapan organ-organ
tubuh perempuan, dalam hal ini yang berhubungan dengan kehamilan dan kesiapan
organ tubuh perempuan untuk melahirkan seorang
bayi telah meningkatkan resiko kematian
ibu dan anak. Pada aspek ini
seringkali disertai dengan pelbagi kemungkinan praktek kriminalitas berupa
kasus aborsi yang merajalela.
Terakhir yang tak kalah penting
untuk dicermati adalah dampak dari perkawinan di
bawah umur atas rendahnya
kualitas keluarga, ketidaksiapan psikis,
sosial, ekonomi dan juga budaya, adalah menyangkut kelangsungan kualitas hidup
anak-anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut. Anak-anak yang lahir dari
keluarga yang berkualitas rendah, tentu masa depannya sesuram nasib negara yang
didiaminya.
Sumber : http://fenomenayangterjadidimasyarakat.blogspot.com/2012/03/nikah-dini-sebagai-suatu-degenerasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar